NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMPANG
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMPANG
TENTANG
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN
DAERAH DAN PEMBANGUNAN
Oleh :
Hamid Madani
140111100256
KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI
DAN PENDIDIKAN TINGGI FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN AJARAN 2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas karunia dan
rahmat-Nya, penyusunan Naskah Akademik Rancangan peraturan daerah tentang “peran
serta masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah dan pembangunan” dapat
diselesaikan dengan baik.
Penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan untuk memberikan
pembenaran secara akademis dan sebagai landasan pemikiran atas materi pokok
Rancangan peraturan daerah dimaksud, didasarkan pada hasil kajian dan diskusi
terhadap substansi materi muatan yang terdapat di berbagai peraturan
perundang-undangan, serta kebutuhan hukum masyarakat akan pengaturan terkait
peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Adapun
penyusunannya dilakukan berdasarkan pengolahan dari hasil eksplorasi studi
kepustakaan, pendalaman berupa tanya jawab atas materi secara komprehensif
dengan para praktisi dan pakar di bidangnya serta diskusi dengan dosen dosen FH
bidang minat pemerintahan yang dilakukan secara intensif.
Kelancaran proses penyusunan Naskah Akademik ini tentunya tidak
terlepas dari keterlibatan dan peran seluruh teman dan senior senior, yang
telah dengan penuh kesabaran, ketekunan, dan tanggung jawab membantu kami untuk
menyelesaikan apa yang menjadi tugas kami. Untuk itu, terima kasih atas bantuan
ilmu dan fikiran dari semuanya.
Semoga Naskah Akademik ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya.
Bangkalan,19 Maret 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
|
i
|
KATA PENGANTAR
|
ii
|
DAFTAR ISI
|
iii
|
|
BAB II ISI TELAAH
AKADEMIK
|
|
2.1. kajian filosofis…………..…………………………………….……………….……
2.2.
kajian yuridis……………………………………………………..………..…..……
2.3. kajian politis……………………………………………………….…………….......
2.4. kajian sosiologis……………………………………………………………….…….
2.5. konsep konsep…………………………..…………………………………………
|
4
5
6
7
8
|
BAB III MATERI DAN RUANG
LINGKUP
|
|
3.1. Peraturan Asas Dan Tujuan ......................................................................................
3.2. Peraturan Hak Dan Keawajiban................................................................................
3.3.
Pengaturan Kewenangan Dan Kelembagaan……………………………………...
3.4.
Mekanisme…………………………………………………………………………
3.5.
Pegaturan Larangan………………………………………………………………
3.6.
Pengaturan Sanksi…………………………………………………………..…….
|
10
10
11
12
15
15
|
BAB IV PENUTUP
|
|
4.1. Kesimpulan..................................................................................................................
4.2. Saran............................................................................................................................
4.3.
Daftar Pustaka…………………………………………………………………….
|
16
16
17
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Beragam upaya menuju
demokratisasi baik dalam bentuk sistem pemerintahan maupun peningkatan
kesejahteraan rakyat laksana sebuah taktik uji coba dilaksanakan di Indonesia.
Upaya menuju demokrasi dalam bentuk sistem pemerintahan misalnya, setelah
sukses menggelar Pemilihan Presiden secara langsung, pengaturan pemilihan
kepala daerah dalam konstitusi yang dipilih secara demokratis menjadi pemilihan
kepala daerah secara langsung. Secara fatsoen politik hal ini wajar ketika
presiden dipilih secara langsung maka kepala daerah juga dipilih secara
langsung. Namun secara konstitusional berbeda, menurut UUD 1945 Presiden dan
wakil presiden dipilih secara langsung dan kepala daerah dipilih secara
demokratis. Tentunya pemilihan secara demokratis tidak menunjukkan pada
mekanisme atau cara pemilihan, namun lebih pada menunjuk esensi dan hasil
dengan cara apapun dilakukan. Dengan demikian ketika konstitusi
ditafsirkan tunggal dengan melakukan pilkada secara langsung oleh UU 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, resiko politik juga harus dihitung terutama
terkait dengan hubungan eksekutif dan legislatif serta hubungan segi tiga
pemerintahan yaitu rakyat dengan eksekutif maupun legislatif dan sebaliknya.
Jelas dalam posisi
kedepan rakyat duduk sebagai pihak dalam hubungan segi tiga pemerintahan karena
rakyat memilih kepala daerah secara langsung. Ketika pasca pemilihan rakyat
“balik kucing” ke bilik rumah masing-masing dan menyerahkan sepenuhnya
kedaulatannya pada eksekutif maka yang terjadi adalah kekuasaan eksekutif yang
sangat besar laksana busur panah yang punya dua kemungkinan. Pertama, menancap
pada dada musuh sehingga mampu mengalahkan masalah-masalah rakyat berupa
kemiskinan, kebodohan, kesenjangan, dan lain sebagainya. Kedua, senjata makan
tuan tatkala mata panah yang buta itu berbalik arah menikam dada rakyat dengan
memeras uang rakyat dan menjalankan kuasa sewenang-wenang karena tidak peduli
lagi dengan DPRD yang tidak punya kuasa memberhentikan kepala daerah, dan
pada rakyat yang tidak ada hubungan struktural pasca pilkada langsung.
Dalam hal
peningkatan kesejahteraan rakyat juga demikian. Berbagai strategi dijalankan
agar rakyat sejahtera mulai dari JPS, KUT, Raskin, IDT, BLBI, Subsidi dan
lainnya, namun apa yang terjadi adalah justru rakyat diposisikan sebagai objek
kebijakan yang menerima saja apapun bentuk kebijakan yang menurut pembuatnya
dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Tidak peduli akhirnya rakyat juga
harus belajar korupsi, manipulasi data, ngemplang, dan berkelahi memperrebutkan
bantuan beras. Dalam konteks ini rakyat dalam posisi “narimo ing pandum”
(menerima pemberian) bukan posisi turut menentukan pengambilan kebijakan akibat
terputusnya hubungan rakyat dengan eksekutif dengan legislatif.
Keterputusan hubungan
rakyat dengan eksekutif lebih banyak diakibatkan tidak adanya mekanisme hukum
yang menghubungkan dan mengukuhkan hak-hak konstitusional rakyat dalam
pemerintahan. Belum ada mekanisme yang mengatur bagaimana rakyat berhubungan
dengan eksekutif agar eksekutif tidak seperti anak panah yang tidak terkendali
dan melupakan rakyat serta pengakuan hak-hak apasaja sehingga rakyat menjadi
eksis. Keterputusan hubungan rakyat dengan legislatif selama ini diakibatkan
menonjolnya sistem kepartaian dalam pemilu dan masih kuatnya peran fraksi di
gedung parlemen. Representasi rakyat di parlemen menjadi representasi partai
dan konstituen hanya sebagai pihak di luar pagar dewan tanpa merasa gedung
dewan sebagai rumahnya.
Dalam konteks inilah
peraturan daerah yang mengatur mekanisme hubungan antara rakyat dengan
eksekutif maupun rakyat dengan legislatif menjadi sangat penting. Ke depan,
sistem pemilu juga penting dirubah untuk lebih mendekatkan pada demokrasi yang
menempatkan kedaulatan rakyat sebagai pilar bukan kedaulatan partai sebagaimana
selama ini berjalan.
Peraturan daerah
yang perlu dibentuk dalam rangka mendekatkan hubungan antara rakyat dengan
eksekutif maupun legislatif. Maka dari itulah naskah akademik ini disusun dalam
rangka membentuk perda yang memungkinkan rakyat berperanserta dalam pengambilan
kebijakan pembangunan maupun pengelolaan pembangunan agar posisi rakyat daerah
tidak hanya sebagai objek kebijakan, namun lebih pada subjek yang turut menentukan
pembangunan daerahnya.
1.2. Tujuan
Tujuan penyusunan
naskah akademik perda peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan
di daerah adalah untuk memberikan landasan hukum dan akademik serta memperkuat
kepastian hukum bagi terjaminnya peranserta masyarakat yang sebenarnya dalam
pemerintahan daerah.
1.3. Metode
Metode yang
dipergunakan dalam menyusun naskah akademik ini adalah review literatur baik
yang berupa textbook maupun hasil penelitian empirik. Literatur yang
dikumpulkan dan dipergunakan dalam penyusunan naskah ini memiliki setting yang
beragam, baik isu maupun lokasinya sehingga mampu menjadi naskah akademik yang
tidak semata bersifat lokal tetapi juga bisa bersifat lebih luas.
BAB II
TELAAH AKADEMIK
2.1. Kajian
Filosofis
Mengacu pada apa
yang diungkapkan oleh Rondinelli (1990: 493-4) bahwa desentralisasi dan
demokrasi tidaklah saling meniadakan tetapi juga tidak terkait. Keduanya adalah
konsep yang berbeda. Di dalam pemerintahan yang sangat sentralistispun bisa
saja terjadi demokrasi bila para pejabatnya dipilih secara berkala oleh
rakyatnya. Kondisi ini menjadi lebih demokratis apabila dibandingkan dengan
suatu negara yang memiliki sistem pemerintahan yang desentralistis tetapi
dikendalikan oleh satu partai politik yang otoriter. Desentralisasi
administrasipun dapat dipergunakan untuk melakukan kontrol negara atas
unit-unit wilayahnya guna meningkatkan peranserta politik yang lebih besar
dalam pembuatan keputusan.
Secara umum, meski
desentralisasi dan demokrasi adalah konsep yang berbeda namun desentralisasi
memberikan sisi positif jika ia dikaitkan dengan tujuan politik seperti yang
diungkapkan oleh Smith (1985: 4-5). Secara politik, desentralisasi
disebut memperkuat akuntabilitas, keterampilan politik, dan integrasi nasional.
Tiga hal tersebut merupakan sesuatu yang hendak dicapai pula oleh demokrasi.
Desentralisasi membawa pemerintah lebih dekat kepada masyarakat karena ia mampu
meningkatkan kebebasan, persamaan, dan kesejahteraan. Desentralisasi memberikan
landasan bagi peranserta warga dan kepemimpinan politik baik untuk tingkat
lokal sendiri maupun nasional.
Selain itu, Smith
(1985: 11) menjelaskan pula bahwa biasanya desentralisasi diasumsikan
memerlukan demokrasi. Meski secara logis desentralisasi tidak membawa implikasi
terhadap demokrasi, tetapi desentralisasi untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki (seperti akuntabilitas penyediaan layanan masyarakat,
kesejahteraan, dan peranserta) tetap memerlukan adanya demokrasi. Hal ini dapat
dipahami karena dengan demokrasi maka muncul para pengambil kebijakan yang
merupakan wakil terpilih yang bertanggung jawab pada pemilih dalam kehidupan
politik.
Secara filosofis,
desentralisasi melahirkan pemerintahan daerah. Demokrasi bercirikan peran serta
masyarakat. Demokrasi dalam desentralisasi berarti jalannya pemerintahan daerah
terfokus pada tanggung jawab masyarakat. Istilah peranserta masyarakat
kini juga berarti citizen engagement (perikatan warga) secara aktif dan
disengaja oleh dewan atau pemerintah tidak hanya dalam proses pemilihan umum,
tetapi juga dalam pembuatan keputusan kebijakan masyarakat atau dalam
penyusunan arahan strategis lainnya. Peran serta masyarakat seyogyanya tidak
dilihat hanya dalam sekali atau serangkaian kejadian, tetapi dilihat dalam
penentuan berbagai hal penting secara bersama-sama antara politisi,
administrator, kelompok kepentingan, dan warga (Graham & Philips, 1998:
4-8). Dengan demikian, secara filosofis peranserta masyarakat merupakan
pengejawantahan prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
2.2. Kajian Yuridis
Pemerintahan daerah
kini telah mempunyai landasan hukum yang lebih kuat karena telah diatur lebih
rinci dalam UUD 1945 yang telah diamandemen ketimbang sebelumnya. Dalam Bab VI
UUD tersebut telah diatur jenjang daerah otonom, azas pemerintahan, pemerintah
daerah dan cara pengisiannya, prinsip otonomi, pengakuan atas tradisi dan
kekhususan serta keragaman daerah, dan yang terpenting adalah penyelenggaraan
pemerintahan daerah tetap berada dalam bingkai Negara Kesatuan Kemasyarakat
Indonesia. Rincian pengaturan tentang pemerintahan daerah ini diputuskan dalam
amandemen kedua UUD 1945.
Pengaturan lebih
lanjut dari amanat UUD 1945 tersebut terjabarkan dalam UU Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Dalam konsideran UU ini dijelaskan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan daerah diperlukan untuk lebih menekankan prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Dalam penjelasannya, hal-hal
yang mendasar dalam UU ini adalah mendorong untuk memberdayakan prakarsa dan
kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan
fungsi DPRD. Jadi, baik dari konsideran maupun penjelasan UU ini tersurat
adanya kehendak untuk mewujudkan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia melalui penguatan pemerintahan daerah.
2.3. Kajian Politis
Secara normatif,
memang tidak ada mekanisme yang didukung oleh peraturan perundangan yang
mengatur bagaimana peranserta masyarakat dilaksanakan dalam pemerintahan daerah
(Haris, 2001). Selain itu, penelitian yang dilakukan Tim Peneliti FIKB (2002)
menunjukkan hasil bahwa memang ada perbedaan pemahaman mengenai makna daerah
dan otonomi daerah di kalangan masyarakat, serta ada kemajuan peranserta
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dibandingkan pada waktu
masih berlakunya UU nomor 5/1974. Namun kemajuan peranserta ini lebih disebabkan
oleh peran elit daerah sehingga belum ada jaminan terhadap keberlangsungan
peranserta masyarakat.
Dominasi elit daerah
dibandingkan dengan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
telah menjadi fenomena umum setelah berlakunya UU Nomor 22/1999 (Jurnal Otonomi
Daerah, 2001). Fenomena ini juga diakui oleh seorang pakar pemerintahan daerah
terkemuka di Indonesia Bhenyamin Hoessein dalam “Temu Refleksi Politik dan
Pemerintahan Dalam Negeri Tahun 2002 dan Proyeksi 2003” bahwa otonomi daerah
yang seharusnya mendorong peranserta masyarakat justeru dipahami sebagai
penyerahan wewenang pemerintahan elit nasional kepada elit lokal. Akibatnya,
keberadaan masyarakat yang berotonomi bersifat pinggiran. Masyarakat bukan lagi
sebagai subyek tetapi obyek dari otonomi daerah. Secara keseluruhan, kebijakan
desentralisasi mengarah pada metamorfosis dari otonomi daerah menjadi quasi
sovereignty dan dari pemerintahan daerah menjadi local state (Kompas,
21-12-2002).
Dominasi elit lokal
ini menyebabkan kurang legitimate-nya pemerintah daerah dan berbagai kebijakan
yang dihasilkannya. Selain itu, tampak betul bahwa dukungan masyarakat terhadap
jalannya pemerintahan daerah kurang ideal. Masyarakat cenderung menjadi apatis
dan pemerintahan daerah sekedar menjalankan demokrasi semu. Peminggiran peran
masyarakat ini tentu disebabkan oleh kekurangpahaman akan makna desentralisasi,
otonomi daerah, dan peranserta masyarakat sebagai elemen utamanya. Oleh karena
itu, penguatan peranserta masyarakat merupakan hal yang mutlak agar
penyelenggaraan pemerintahan daerah diseleggarakan secara legitimate dan
memperoleh dukungan nyata dari masyarakat.
2.4. kajian
sosiologis
Pada kenyataannya,
masyarakat juga dikelompokkan pada berbagai tingkatan administrasi yang
memiliki konsekuensi batas-batas teritorial tempat masyarakat tersebut secara
bersama-sama menjalankan peranserta dalam pemerintahan daerah. Menghadapi
persoalan ini, Leach & Percy–Smith (2001: 9-12)
menawarkan dua pendekatan untuk mendefinisikan masyarakat.
Pendekatan pertama merumuskan
masyarakat dari pola kehidupan dan pekerjaan orang-orang (effective
community). Pendekatan ini menyiratkan adanya pembedaan antara masyarakat
perkotaan atau pedesaan atau kesaling-tergantungan ekonomis antara kota dan
desa. Dengan demikian, masyarakat lebih diartikan sebagai sekelompok orang yang
memiliki kesamaan. Ini berarti menunjuk pada penduduk dalam wilayah geografis
tertentu dan diasumsikan mereka tinggal dalam batas-batas teritorial pemerintah
daerah tertentu. Mereka membayar pajak kepada dan menerima layanan masyarakat
dari pemerintah daerah tertentu, dan mereka merasa menjadi bagian daripadanya.
Pendekatan kedua memusatkan perhatian
pada cara orang mengidentifikasikan dirinya dan cara mereka merasakan loyalitas
tertentu. Pendekatan ini seringkali disebut sebagai affective community.
Masyarakat tidak dihubungkan dengan wilayah, tetapi lebih dihubungkan dengan
konteks tertentu yang mempengaruhi identitas dan loyalitasnya. Ada pengaruh
budaya dan pola kehidupan yang kompleks. Seringkali terjadi seseorang yang
bertempat tinggal di kota tertentu, bekerja dikota yang lain, berbelanja di
kota yang lain lagi, dan berasal dari kota yang berbeda lagi. Pendekatan ini
dipengaruhi oleh mobilitas sosial dan geografis dari banyak orang yang memiliki
beragam identitas dan loyalitas.
Menghadapi kenyataan
ini, Leach & Percy–Smith (2001: 35-36) mengakui bahwa
masyarakat tetap menjadi istilah yang elastis dan tak pasti. Ia masih menjadi
istilah yang problematis karena menyangkut beragam kepentingan dan perasaan
orang-orang. Ia bisa dibatasi berdasarkan area maupun perasaan seseorang. Untuk
mengatasi hal ini mereka berpendapat bahwa masyarakat dalam pemerintahan daerah
lebih diarahkan pada bagaimana orang-orang menyebut dirinya masyarakat, apakah
sebagai warga, konsumen, dan pengguna layanan. Selain itu, masyarakat bisa
lebih diarahkan pada cara mereka dipengaruhi dan mempengaruhi pelayanan
masyarakat yang mendukung kualitas hidupnya. Namun demikian, aspek kewilayahan
juga tidak dapat dihindari begitu saja karena menyangkut proses kebijakan.
2.5. Konsep peran
serta masyarakat
Untuk memahami
konsep peranserta masyarakat maka pembahasan sebaiknya terlebih dahulu
diarahkan pada siapa yang berperanserta dan apa yang terkandung dalam istilah
peranserta. Telaah mengenai siapa yang berperanserta akan mengarah pada
pembahasan tentang dua hal, yakni: apa yang dimaksud dengan masyarakat dan
bagaimana posisi masyarakat dalam pemerintahan daerah.
Pengertian terakhir
yang diacu oleh Korten tersebut telah menyentuh aspek spasial dalam
kehidupan sekelompok orang. Pendapat ini diperjelas oleh Midgley (1986:
24-5) yang mengungkapkan bahwa konsep masyarakat jarang sekali didefinisikan
dalam literatur meski ia menjadi isu sentral. Pihak yang berwenangpun
seringkali tidak memberikan batasan secara formal meski menggunakan istilah
masyarakat untuk merujuk pada socio-spatial entity.
Dengan mengacu pada
apa yang diungkapkan oleh PBB, Midgley kemudian mengungkap bahwa
penekanan pada aspek lokalitas tetap juga membingungkan karena masyarakat
secara bersamaan bisa mengacu pada ketetanggaan, desa, kecamatan, kota bahkan
kota besar. Penekanan pada pengelompokan yang terendah ini seringkali oleh
banyak penulis diarahkan pada unit organisasi sosio-spasial yang terendah,
yakni desa (village).
Adapun yang harus
ada dalam konsep peran serta masyarakat dalam pemerintahan daerah yaitu
meliputi hal hal sebgai berikut :
1. Ruang Lingkup dan Bentuk Peranserta
Peranserta
masyarakat meliputi:
1. Peranserta dalam pengelolaan pembangunan;
2. Peranserta dalam pembentukan peraturan daerah.
Peranserta
masyarakat berbentuk:
1. dengar pendapat umum;
2. korespondensi;
3. audiensi;
4. diskusi masyarakat;
5. terlibat dalam sidang terbuka di eksekutif maupun legislatif;
6. rapat umum;
7. demonstrasi;
8. bentuk-bentuk lain yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan dan ketertiban umum.
2. Area Kebijakan Partisipatif
Peranserta
masyarakat dapat berlangsung dalam beberapa area pengambilan keputusan (Burns,
et al., 1994: 160), yakni :
1. praktek operasional yang menyangkut perilaku dan kinerja pegawai dalam
institusi masyarakat, isu-isu yang berkaitan dengan aspek lainnya dalam
kualitas pelayanan masyarakat, keterandalan dan keteraturan pelayanan,
fasilitas bagi pengguna jasa dengan kebutuhan tertentu dan lain sebagainya.
2. keputusan pembelanjaan yang berkaitan dengan anggaran yang
didelegasikan, anggaran yang menyangkut modal besar, sampai pada anggaran
pendapatan menyeluruh yang mencakup gaji pegawai dan biaya rutin bagi kantor
tertentu dan pemeliharaannya, termasuk peningkatan pendapatan melalui
peningkatan pajak lokal.
3. pembuatan kebijakan yang menyangkut tujuan-tujuan strategis dari
pelayanan tertentu, rencana strategis bagi pembangunan kawasan dan fasilitas
tertentu, dan prioritas pembelanjaan dan keputusan alokasi sumber daya lainnya.
BAB III
RUANG LINGKUP
PENGATURAN
3.1. Asas
dan Tujuan
Peran serta
masyarakat dilaksanakan berdasarkan asas persamaan kedudukan dalam
pemerintahan, kebebasan berpendapat dan berserikat, dan keterbukaan.
Peranserta
masyarakat bertujuan untuk :
- Meningkatkan proses pertukaran informasi antara masyarakat, Pemerintah Kota, dan DPRD;
- Meningkatkan pertagungjawaban masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
- Menyediakan wahana pendidikan politik bagi masyarakat;
- Pemberdayaan masyarakat dalam pengambilan kebijakan daerah.
3.2. Hak dan
Kewajiban
Masyarakat
berhak:
- Masyarakat berhak untuk berperanserta di dalam pengambilan keputusan pengelolaan pembangunan.
- Masyarakat berhak untuk berperanserta di dalam pengambilan kebijakan pembentukan peraturan daerah.
- Hak untuk berperanserta dalam pengelolaan pembangunan maupun dalam pengambilan kebijakan pembentukan peraturan daerah meliputi:
- Hak mendapatkan informasi;
- Hak menyampaikan saran, pendapat, keberatan, dan ikut terlibat dalam pengambilan keputusan;
- Hak untuk terlibat dalam persidangan terbuka yang dilakukan eksekutif maupun legislatif;
- Hak menolak atas rencana proyek pembangunan dan rancangan peraturan daerah yang merugikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat serta lingkungan hidup;
- Hak gugat masyarakat atas proses pembentukan perda dan keputusan pengelolaan pembangunan.
Kewajiban
masyarakat:
1. Masyarakat yang berperanserta wajib mengemukakan dan memberikan
data dan bahan pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Masyarakat yang berperanserta wajib menyampaikan aspirasi dengan
cara-cara yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan
ketertiban umum.
3.3. Kewenangan dan
Kelembagaan
Walikota dan DPRD
bertanggung jawab atas pengembangan kelembagaan di bidang peran serta
masyarakat. Komisi Daerah Peranserta Masyarakat melaksanakan tugas
peningkatan, penumbuhkembangan, pemfasilitasian, dan pemotivasian
peranserta masyarakat. Komisi Daerah Peranserta Masyarakat
berwenang untuk:
- memfasilitasi, menyediakan informasi dan mendukung proses perumusan masalah kebijakan daerah yang diusulkan masyarakat;
- mengakomodir, menindaklanjuti, dan menyampaikan setiap aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan kebijakan daerah kepada instansi terkait;
- menguji kebenaran, kelayakan dan ketetapan setiap tahapan pengambilan kebijakan daerah yang diajukan oleh warga masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan, prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, serta kelayakan teknis dan standar minimal bidang atau sektor yang menjadi tugas dan tanggung jawab masing-masing instansi;
- menyelenggarakan Referendum Warga Kota;
- membuat laporan tentang dugaan adanya tindak pidana peranserta masyarakat kepada pejabat penyidik pegawai negeri sipil;
- melaporkan hasil pengujian kebenaran, kelayakan dan ketetapan setiap tahapan pengambilan kebijakan daerah yang diajukan oleh warga masyarakat kepada Walikota.
- Pemda berwenang melakukan pengelolaan dana kelembagaan
Komisi Daerah Peran
serta Masyarakat bersifat mandiri dalam melaksanakan tugasnya serta
beranggotakan 5 orang dipimpin oleh seorang koordinator bersifat kolektif
kolegial. Masa jabatan anggota Komisi Daerah Peranserta masyarakat adalah 5
tahun yang keanggotaannya mewakili unsur LSM, Masyarakat, Organisasi Masyarakat,
Akademisi, dan Pers. Anggota Komisi Daerah Peranserta masyarakat
dicalonkan oleh masyarakat kemudian dipilih oleh DPRD melalui tes kelayakan dan
kepatutan. Walikota mengesahkan anggota Komisi Daerah Peranserta
masyarakat sebagaimana yang dipilih oleh DPRD. Biaya operasional Komisi Daerah
Peranserta masyarakat dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah. KOMDA Peran serta Masyarakat mempertanggungjawabkan laporan kegiatan
dan keuangan kepada DPRD setiap 1(satu) tahun sekali dan menginformasikan LPJ
kepada masyarakat setiap 1(satu) tahun sekali.
3.4. Mekanisme
Peran serta dalam Pengelolaan Pembangunan
1. Tahap Perencanaan
Masyarakat di
sekitar proyek pembangunan harus dimintai persetujuan atas rencana pembangunan
yang akan dilaksanakan. Masyarakat disekitar proyek pembangunan juga dapat
menolak rencana pembangunan apabila akan merugikan kepentingan pendidikan,
budaya, agama, dan lingkungan. Peranserta masyarakat dalam perencanaan
pembangunan Daerah dapat dilaksanakan dengan:
- merumuskan permasalahan diberbagai bidang pembangunan dengan menganalisis, menentukan dan merumuskan permasalahan pokok yang dihadapi;
- meminta informasi tentang rencana pembangunan;
- merumuskan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi dan perlu diatasi oleh instansi yang berwenang;
- merumuskan rencana program dan kegiatan sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
2. Tahap Pelaksanaan
Masyarakat baik lembaga maupun perorangan harus dilibatkan dalam
pelaksanaan pembangunan Daerah. Peranserta masyarakat dalam pelaksanaan
pembangunan Daerah dapat dilaksanakan dengan:
- ikut melaksanakan pembangunan baik secara swadaya tenaga, pikiran dan materi;
- meminta informasi tentang perkembangan pelaksanaan pembangunan;
- melaksanakan pembangunan dari dana Pemerintahan Kota;
- membantu kelancaraan pelaksanaan pembangunan;
- berperanserta memberikan kejelasan mengenai maksud dan tujuan pembangunan kepada masyarakat luas.
3. Tahap Pengawasan
Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan harus diberikan kesempatan
untuk melakukan pengawasan atas setiap pelaksanaan pembangunan didaerahnya.
Peranserta masyarakat dalam pengawasan pembangunan Daerah dapat
dilaksanakan dengan:
- mengamati secara langsung pelaksanaan pembangunan;
- meminta informasi tentang perkembangan hasil pelaksanaan pembangunan;
- melakukan koreksi apabila ada kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan;
4. Tahap Evaluasi
Peranserta masyarakat dalam evaluasi pembangunan Daerah
dilaksanakan dengan mengkuti rapat atau pertemuan evaluasi yang melibatkan
Pemerintah Kota, DPRD, Pelaksana Proyek Pembangunan dan pihak lain yang
terkait.
5. Pelaporan
Setiap pelaksanaan pengelolaan pembangunan dapat dilaporkan
perkembangannya oleh masyarakat kepada Walikota dan/atau Komisi Daerah
Peranserta Masyarakat. Pelaporan tersebut meliputi seluruh tahapan
pengelolaan pembangunan daerah termasuk hambatan, kendala dan perkembangan
kemajuan serta keberhasilan dilakukan dalam bentuk lisan maupun tertulis. Setiap
laporan yang masuk wajib diteliti kebenarannya dan ditindaklanjuti oleh Komisi
Daerah Peranserta Masyarakat. Pelaksanaan penelitian tersebut dilakukan
dengan:
- mewawancari secara mendalam pihak-pihak yang terkait;
- meminta pendapat ahli;
- melakukan survey atau jajak pendapat;
- melakukan observasi atau pengamatan;
- mengkaji aspek hukum, ideologi, politik, sosial, budaya, dan keamanan;
- cara-cara lain yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan praksis dan teoritis.
6. Tahap Pemeliharaan
Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan dapat dilibatkan
dalam pemeliharaan hasil pembangunan didaerahnya. Peranserta
masyarakat dalam pemeliharaan pembangunan Daerah dapat dilaksanakan dengan
tindakan menjaga, mempertahankan dan melestarikan hasil-hasil pembangunan yang
telah dilaksanakan.
7. Peran serta masyarakat dalam Pembentukan Raperda
Masyarakat baik lembaga maupun perorangan harus dilibatkan dalam
pembentukan rancangan peraturan daerah baik di tingkat Pemerintah Kota maupun
di tingkat DPRD Kota. Bentuk pelibatan tersebut antara lain:
- konsultasi masyarakat;
- dengar pendapat umum;
- jajak pendapat; dan/atau
- lokakarya lintas pelaku;
Perwakilan masyarakat baik lembaga maupun perorangan diberi kesempatan
untuk mengikuti persidangan pembahasan rancangan peraturan daerah yang
dinyatakan terbuka untuk umum sebagai pengamat. Pemerintah Kota atau alat kelengkapan
DPRD harus menyediakan tempat yang memungkinkan perwakilan masyarakat dengan
seksama mengamati seluruh proses pembahasan rancangan peraturan daerah.
Masyarakat baik lembaga maupun perorangan mengajukan permohonan kepada Komisi
Daerah Peranserta Masyarakat untuk mengamati sidang pembahasan rancangan
peraturan daerah. Komisi Daerah Peranserta masyarakat menentukan
perwakilan masyarakat yang akan mengamati sidang pembahasan rancangan peraturan
daerah mengigat keterbatasan ruang dan tempat yang tersedia. Dalam hal rancangan
peraturan daerah dibentuk untuk mengatur masalah lingkungan hidup daerah,
rencana tata ruang dan wilayah, retribusi, dan pertanahan harus dengan
persetujuan masyarakat melalui Referendum Warga Kota. Referendum Warga Kota
diselenggarakan oleh Komisi Daerah Peranserta Masyarakat.
8. Mekanisme Gugatan Masyarakat
Masyarakat yang dirugikan karena akibat tidak dilibatkannya dalam
pembuatan kebijakan pembangunan dan atau pengelolaan pembangunan, dapat
melakukan gugatan kepada pemerintah daerah.
3.5. Pengaturan
larangan
- menghalang-halangi masyarakat untuk berperanserta dalam pengelolaan pembangunan dan pembentukan rancangan peraturan daerah;
- tidak memberikan kesempatan masyarakat untuk berperanserta dalam pengelolaan pembangunan dan pembentukan rancangan peraturan daerah.
3.6. Pengaturan Sanksi
Instansi pemerintah
yang melakukan perbuatan sebagaimana dalam ketentuan larangan diancam dengan
hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Bertolak dari
paparan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal penting
sebagai berikut:
- Sebagai perwujudan esensi demokrasi dan tujuan desentralisasi, maka peranserta masyarakat dalam pemerintahan daerah merupakan suatu keniscayaan.
- Untuk merealisasi peranserta masyarakat yang bersifat nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka diperlukan adanya payung hukum yang kuat dalam bentuk peraturan daerah.
- Seyogyanya perda tersebut mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat setempat tentang penyelenggaraan peranserta masyarakat yang efektif.
- Peraturan daerah tentang peranserta masyarakat ini harus dapat mengakomodasi segenap aspirasi dan prakarsa masyarakat setempat dalam penyelenggaraan pelayanan masyarakat dan pembangunan di daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Remasyarakat Indonesia.
4.2. Saran-Saran
Saran-saran yang
penting dalam naskah akademis sebagai berikut:
- DPRD maupun Pemkot Sampang perlu segera membahas raperda peran serta masyarakat ini sehingga membuka peluang berkembangnya demokratisasi daerah.
- Diperlukan adanya kesadaran bersama dari segenap stakeholder pemerintahan daerah untuk mewujudkan peranserta masyarakat yang nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
- Diperlukan adanya peluang advokasi masyarakat dalam penyusunan perda peranserta masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan,
Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992.
Hamid Attamimi,
Teori Perundang-undang Indonesia
Maria Farida Indrati
S, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998
Rosjidi
Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan, Mandar Maju, Bandung, 1998
Undang-undang Dasar
1945
Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan
Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden
Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan
Pengelolaan Program Legislasi Nasional.
Komentar
Posting Komentar